Friday 28 January 2011

Klise


Kemarin tertulis putih
Katanya oleh putih yang suci
Hari ini terpercik abu-abu
Katanya untuk putih yang suci
Besok tentulah hitam
Katanya demi putih yang suci
Tidak!
Tak ada hitam untuk putih
Tidak ada putih karena hitam
Paham?
Malang, 200209

yang terbaik #2

Halaman rumah

Anak kecil seumuran tiga atau empat tahun duduk di atas sepeda mini roda empat. Mengayuh sepeda pelan-pelan diikuti si ayah di sampingnya. Oh, rupanya sedang belajar. Sedang si ibu berdiri menonton dari pojok teras, dan terus mewanti-wanti agar tidak bermain di jalan. Takut keserempet kendaraan.

Masuk ke ruang tamu

Si kecil sekarang sudah masuk sd. Selesai sekolah selalu saja ada pr. Biasanya si ayah yang selalu sabar mendampingi belajar. Duduk berdua di lantai. Lebih nyaman buat si kecil dibanding duduk di sofa. Si ayah tahu, putri kecilnya dianugrahi kecerdasan luar biasa. Itu yang membuatnya matanya selalu berbinar-binar selagi menemani putrinya belajar.

Dapur

Tempat paling favorit bagi si kecil yang sudah beranjak remaja. Biasanya ia datang menawarkan bantuan pada si ibu. Niatnya sih, pengen belajar memasak. Tapi si ibu tidak pernah membolehkan. Takut porselen-porselennya pecah kesenggol si kecil. Emang si kecil agak ceroboh. Belum terbiasa memegang pisau. Nanti malah teriris sendiri. selama ini si kecil lebih sering bergumul dengan si ayah di bengkel lukisnya. Jangan heran, selain jago megang pena, ia juga lihai megang kuas. Jika si ibu tidak membolehkan memasak, ia betah saja duduk memandangi si ibu masak sambil melukis wajahnya.

Sebenarnya si kecil mau protes, begini-begini dia kana juga cewek. Boleh dong belajar masak. “justru karna kamu, perempuan. Nggak belajar masak pun nanti juga tau sendiri.” nah, sejak itu si kecil baru sadar, selai jago masak, ibunya juga jago berdiplomasi (sebenarnya sih jago ngeles, tapi kalo bilang begitu takut kualat.)

Ruang makan

Kalo ini tempat favorit semuanya. Ibu, ayah, dan putri mereka selalu berkumpul di sini. Tiga kali sehari (bukan untuk minum obat loh ya...) saling bertukar cerita, bercanda. Si ayah dan si ibu malah suka bermesraan sendiri. lupa kalo ada si kecil yang sudah saatnya di panggil si besar.

***

Itu semua hanya potongan-potongan kenangan yang entah kenapa bermunculan begitu saja. seperti screen saver di layar laptop. Si gadis merutuki dirinya. Ia pasti sedang melamun, blank, atau tak sadar. Buktinya slide-slide tersebut bisa lolos dari sensor keamanan yang jelas-jelas memasukkan mereka dalam daftar black list.

Thursday 27 January 2011

yang terbaik

Semua orang mengeluh, menyayangkan, beberapa mungkin bosan dengan berita perceraian selebritis yang hampir tiap hari muncul di layar telivisi.

Klik.

Si gadis lebih memilih mematikan tv. Memejamkan mata. Dan seandainya aku bisa mengenyahkan slide-slide yang terus menghantui. Wajah-wajah orang yang sangat dikasihi datang silih berganti. Ia ingin mengenyahkannya juga. Seandainya saja semudah menekan tombol power pada remote.

Tuh, kan. Mereka datang lagi! (someone, help!)

Mami selalu tampak cemas. Aku gak suka melihat bibirnya yang terus menerus melengkung ke bawah. Setiap pagi dengan mata bengkak dan cuping hidung kemereh-merehan, ia memasak nasi goreng untuk sarapan. Tolong jangan tularkan kesedihanmu. Si gadis menelan suapan nasi goreng cepat-cepat. Tidak ingin merasakan haru dalam rasanya.

Papi. Wajah yang selalu sangar, bahkan saat tersenyum sekalipun. Lihatlah matanya, tatapannya seperti puscuk pistol yang ditodongkan tepat di keningmmu. Membunuh. Amunisinya selalu penuh. Bisa membunuh mami dan si gadis kapan saja. aku tak pernah berani menantang matanya secara langsung. Aneh, dia papiku. Kenapa dia ingin membunuhku. Aneh, mami adalah istrinya. Kenapa ingin membunuhnya. Si gadis melahap sarapanku lebih cepat lagi. Ingin menghilang dari tatapan papi.

Setiap hari, si gadis sudah bangun pagi-pagi sekali. Melahap sarapan secepat kilat. Lalu pergi kemana saja. asalkan tidak terperangkap di rumah. pulang saat semua sudah tidur. Ia tak pernah betah di rumah. terlalu banyak hal yang tak ingin dilihat, didengar, dan dikenang.

Thursday 20 January 2011

Entah sepiku

Saat, bersama:
Entah menjauh
Entah menyendiri
Entah menghindar
Entah enggan

Saat, sepi sendiri:
Entah tersingkir
Entah terkucil,
Entah...

Atau,
Tak pernah diharapkan?

Aarrgghh...!!!
Biar tetap begini
Biar tetap sepi
Biarkan saja
Aku berdua
Dengan entahku
(puisi jaman ba)

Ini lara!

Seperti inikah luka
Kita bergandeng sumpah
Memasung lara dengan mimpi
Lalu kaku berlari
Sedang aku tertatih, limbung

Hitam, pekat
Putri tirta bersenandung sendu
Kang bayu bersiul sumbang
Dan bianglala tersenyum jalang
Lihat,
Aura dunia berpendar jengah

Kalian
Usah acuh perih
Tak perlu petuah
Tahu apa tentang duka
Ku tak kan mati diracun madu

Surakartahadiningrat, 120308

ritual pemujaan

Malam kala pertiga
Aku terjaga
Menyusuri cinta
Di balik teduh wajahnya

Ranum kasihnya; hangat
Membelai mesra nafasku
Kupeluk erat tiap sembahku
Mengeja namanya penuh hasrat

Malam kala pertiga
Lagi, aku terjaga
Mengecup doanya segera

Biar dzikir jadi candu
Biar rahmat dalam laku
Biar rindu tak lagi sendu

Pabila esok
Ada malam kala pertiga
Beta hanya pinta; terjaga

Surakartahadiningrat, Maret 08

risalahku

Kepada angin jasadmu kutanya
Kepada samudra kumengadu rimbamu
Kepada tuhan gugat cerita
Kepada siapa kuberkabar dirimu

Dalam malam kutulis sajak
Bai-bait cinta kita
Surat rindu untukmu
Tak terasa tiga belas
Purnama tlah terlewati

Kepada angin daku bertanya
Kepada samudra daku bersoal
Kemanakah risalahku
Kualamatkan

Dalam malam kutulis
Risalah cinta
Puluh purnama terlewati
Tak tahu kemana
Risalahku kualamatkan

(puisi jaman alif)

Wednesday 19 January 2011

Ia lahir dari
Rahim yang telah mati
; membusuk,
Orang bilang ia juga sama
Matinya
; membangkai.

Ia besar dan hidup
Dalam kubang seperti yang kau
Bayangkan; ulat, menyengat, jijik

Ia lalu kau kenal
Sebagai aroma
Dibuatnya kau mati
Mendambanya, hingga dama
Menyandunya, hingga candu
Menggilaianya, hingga gila

Ia lalu mati
Jangan kira dalam nista
Lihat dirimu; busuk, bangkai, ulat dan sengat
Dan ia menyedot sempurna
Aromamu.

Batu, 15-1-11

Tuesday 18 January 2011

perempuanku #3

“Kenapa?”

“Karena kau adalah perempuanku.”

“Lantas?”

“Aku hanya ingin kau jadi milikku; aku. Saja.”

“Aku tidak mengerti.”

“Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Apa kau pernah mendengar kisah ini.”

“Haha....”

“....”

“Jadi karena itu, kau harus tahu; hanya karena aku perempuan, hawanya adam, bukan berarti aku milikmu. Menurutimu, melayanimu. Jadi budakmu. Aku tidak pernah berharap diciptakan dari tulang rusukmu, mencurinya. Ambil saja hidupku, jika kau tidak setuju pendapatku.”

“Sombong sekali.”

“Sombong. Angkuh, angkuh sekali.”

Ya, seperti ibu. Aku melihatmu, bu. Sosok didepanku ini, apakah dirimu?

“Cincin ini aku kembalikan.”

“Itu aku berikan padamu. Tolong jangan kembalikan.”

“Aku tak ingin diikat.”

“Itu hadiah, bukan pengikat.”

“Kau yakin?”

“Ya, aku..., aku..., aku..., aaarrrgh”

“Oke. Aku percaya.”

“Kau tahu, aku hanya ingin melindungi.”

“Burung, tidak pernah mengharap hidup dalam sangkar emas.”

Ibu, kau benar-benar hadir di sini. “Maafkan aku. Terbanglah bebas, jelajahi alammu, burung mungil.”

“Jangan takut. Burung tidak pernah lupa arah pulang ke sarangnya.”

Wednesday 12 January 2011

nadin,

“Nadin, di sini saja ya? Main sama tante.”

Nadin hanya menggeleng

“Tapi nadin tidak boleh masuk,” Nadin menatap wanita itu sejenak. Baju putihnya rapi, didisipkan kedalam rok hitam. Tangan kanannya memegang blazer hitam, dan tangan kirinya tak berhenti membelai kepala Nadin penampilannya sedikit mirip guru di sekolah.

“Pokoknya, tante, Nadin mau..... ” entah kenapa jantungnya berdetak kencang sekali. Sakit. Ia berpegang pada sandaran bangku taman, “mami-papi cerai saja”. Seolah ada bongkahan batu yang menggelundung bebas dari ringga dadanya. Ia buru-buru duduk sebelum akhirnya roboh.

Wanita mirip bu guru menaikkan kacamatanya yang tiba-tiba melorot, lalu menghampir Nadin. Duduk berdampingan.

“Nadin, tahu cerai itu apa?” Dia ragu dengan perkataan anak kelas 2 sd tersebut.

“Sesuatu yang sangat diinginkan mami-papi.”

“Kalo mami-papi cerai, artinya mereka tidak hidup bersama lagi. Mami akan tinggal di rumah mami sendiri. begitu juga dengan papi. Kalian akan.....”

”bagus dong”

“Hidup terpisah”

“Jadi nadin dan dede punya dua rumah”

“Kalian akan jarang bertemu, tidak seperti dulu lagi.”

“Nadin mau kasih tau teman-teman. Kalo Nadin punya dua rumah”

“Tidak bisa tidur dengan mami-papi, bermain berempat”

“Nanti kalo papi beli rumah lagi, aku mau punya kamar yangg lebih besar.”

“Nadin.” Ia memegang pundak si gadis kecil

“Kalo ada PR bahasa, nadin ke rumah papi. Papi jago buat pusi. Makanya dulu mami jatuh cinta. Kalo sains, nadin tinggal pulang ke rumah mami. Mami kan dokter, pasti hebat. Papi bilang, kalo mami pake jas lab, mirip bidadari.”

Dia melirik si gadis kecil. Nadin, tatapannya lurus kedepan. Mengoceh dari tadi, seperti ingin meneriakkan kekesalannya. Apa dia frustasi dengan hubungan orangtuanya? Kadang, anak-anak juga sudah bisa stress. Ia melirik sekali lagi. Gadis ini, tak sedikitpun mengeluarkan air mata.

“Jika akhirnya mereka bercerai, mamimu mungkin akan menikah lagi, papi sekarang malah sudah punya.”

“Aku senang Om Adi jadi papaku nanti. Aku juga sayang sama Mama Sandra. Dia cantik, seperti barbieku.”

“Kenapa?” anak-anak seharusnya menjadi penaut hati kedua orang tua.

“Dalam doa, pertengkaran, pergulatan, pergumulan mami-papi. Cerai-cerai-cerai. Nadin mendengarnya, Tante.”

Dia meraih gadis kecil kedalam pelukannya. Dibalas pelukan, erat, erat sekali. Nafas memburu. tak ada tetesan yang membasahi bajunya. Tak ada sesenggukan yang terdengar.

Ah, gadis kecil. Nadin....

Terbang Jauh

Dengan hati-hati aku melepas rantai
Burung beo dan merpati
Melesat terbang jauh, sama sekali
Tidak menyia-nyiakan kesempatan bebas

Satu pintu sangkar kubuka lagi
Perkutut, camar, kasuari
Seribu sangkar masih menanti
Langkahku semakin gegas

Punya siapa, aku tak peduli
Dicaci, siapa peduli
Dimaki pun sudi
Asal burung-burung mengangkasa

Kicau yang kaunikmati
Sayap yang kaukagumi
Semuanya boleh kaumiliki
Tapi biarkan kepak sayapnya menari di udara.

Malang, 12 Januari 2011
*Cintamu, tak perlu kau genggam. Biarkan ia bebas. Kita sama-sama tahu kemana ia akhirnya kan kembali.

Monday 10 January 2011

pak tua dan gulo kacang #3

“Kacang, mbak.” Tawarnya sambil tersenyum. Hm..., manis. Saya membayangkan gigitan gulo kacang, gula merah bercampur air liur. Luber di lidah. Tak sadar saya menjilat-jilat bibir. Benar-benar manis! Lagi-lagi saya menghampiri pak tua dan gerobaknya. Sialan. Padahal beberapa hari ini sedang diet kacang. Saya termakan mitos yang dikasih tahu teman beberapa hari lalu; konsumsi kacang dapat menyebabkan jerawat. Dahi dan pipi saya sudah sesak dengan bintik-bintik merah dan noda-noda hitam bekas jerawat.

Beruntung, duit sepuluh ribu yang dikantong bukan milikku. Titipan teman saya. Waktu saya cerita tentang pak tua dan gula kacangnya, dia bilang saya mirip ayahnya. Sama-sama suka gulo kacang. Tak apa tidak turut mencicipi, beli saja saya sudah senang.

Ketika kutawari daganganku, kulihat dia menjilat-jilat bibir sambil memejamkan mata. Apakah dia sedang membayangkan nikmatnya kacang dan gula merah bercampur air liur? Terasa sekali manisnya saat luber di lidah. Kesekian kali dia menghampiri gerobakku. Aku tidak tahu kenapa dia masih suka makan gulo kacang, padahal aku lihat jerawat di pipnya banyak jerawat dan noda-noda hitam. Kan, kata orang sering-sering makan kacang nanti timbul jerawat.

Kali ini dia beli sepuluh ribu. Biasanya Cuma satu. Aku jadi sedikit curiga, jangan-jang titipan seseorang yang mirip dengannya. Sama-sama suka gulo kacang. Tak apalah kalau bukan uangnya, ada yang beli saja sudah senang. Apalagi sebanyak ini.
Lagi, dia menghampiri pak tua saat ditawari kacang. Bagaimana bisa menolak? Bayangan gulo kacang bercampur liur dan luber di lidah begitu menggodanya. Alangkah manisnya. Sampai mejilat-jilat bibir segala. “banyok konsumsi kacang, bisa menyebabkan jerawat, loh” aku mengingatkannya. Jerawat sudah memadati dahi dan pipinya. Mana, meninggalkan bekas kehitam-hitaman juga.

Lihat dari caranya berkisah, aku tahu dia lwbih menikmati beli gulo kacang daripada rasanya. Aku teringat ayah yang juga suka gulo kacang. Duit sepuluh ribu kuberikan padanya. Aku sendiri tidak terlalu suka. Yang penting dia senang, ayah senang. Tak apa tidak turut mencicipi.

*** *** ***

Friday 7 January 2011

Hanisah, Muslim from Pattani

Have you ever heard about Thailand? The one first comes to your mind might be Buddhism. It is true that the major religion in Thailand is Buddha. However, what I will tell to you here is quite different. I have interviewed with a Thai, and she is a Muslim.

Family
Her name is Hanisah Khareng from Jala, Pattani, South Thailand. She lives with her nuclear family, his mom named Aminah, Hariran- big brothers, Fatihah, Asri, Matayudin, Bahri. Most of Muslims in Pattani use Arabic name rather than Thailand name such as, Bonsak, Panana, and others.

It is not a strange for Islam is the highest percentage of religion in this province. Thai was not their native language, even they are Thai. Their native language is Jawi (Malay)- a malay language written in Arabic alphabet.
In their tradition, a house only for a nuclear family, when a child gets married, they may stay for a while in their parent house (usually at man’s parent house). Then they have to move to their own house.

Just as most Malay, she call her father whose name is Khareng as “ayah”, her mom “mama”, and her big brother as “abang”. To someone younger they only call their name. While a big sister “kakak”. Ayah, mama, abang, and kakak will not be found in Thailand vocabulary but we will found it in Indonesian language or Malay.
Food

Hanisah is close to her mother and is open. She used to share her secrets with her mother. She told me that she really loves her mother and misses her cook. They are not accustomed to have breakfast together, but they usually have lunch and dinner together. Usually her mom cooks tomyam, padpid, and nasi goreng pataya.

Socio-Culture
The environment she lived in is densely populated. The distance between one house and other is not short. The citizens are welcome and cooperativeness like Malay. If someone held a big ceremonial feast, the family or neighbor will come to help them. They are a community self-helped.
As she told me, in fact, they do not have a certain tradition, most ritual or ceremonial are just the same in Islamic tradition. For instance, ritual on aqiqah, marrieage, death, open house at Ied day, and etc.

Economy
Hanisah’s father has passed away, he was a farmer. As the consequence her mother works outside as a seller in the traditional market to make ends meet.
Most of people there work as farmer at their own rubber plantation or as farmhand. Not many people work at government institution, it is difficult to penetrate. Pattani people have been discriminated due to their religion, language, and culture is different from the majority of Thailand.

Indonesia
After graduating from madrasah (Islamic school) students will be send to study abroad. Thus far, they study in Islamic country such as Saudi Arabia, Egypt, Iran, and Indonesia. The subject they take also concerning in Islamic value.

Hanisah is one of the students studying in Indonesia. She took Pendidikan Bahasa Arab course. She was glad to study in Malang, Indonesia. She admits that she is not accustomed with the food yet. However, people of Indonesia (especially at UIN Maliki Malang) are nice, kind, and hospitality, makes her feels like home. It really helps her to adapt with the new environment.

Tuesday 4 January 2011

pak tua dan gulo kacang #2

Ujung jalan, di emper toko Cik Mei. Dari belokan gang, Saya selalu melihat dia duduk bertumpu di atas kaki, kedua tangan bersilangan memeluk lutut erat-erat. Membunuh angin malam. Entah kenapa langkah kaki menuntun saya ke emper toko Cik Mei. Dia gegas berdiri saat saya hampiri, badannya sedikit oleng mau jatuh. “kacang, nduk?” senyumnya memperlihatkan deretan gigi, tidak utuh. “Gulo kacang, pak, setunggal mawon.” Matanya mengerjap-ngerjap memantulkan spektrum orange dari lampu minyak. Caranya menyambut saya seperti berlebihan. Jangan-jangan saya pelanggan pertama hari ini.

Emper toko Cik Mei tempatku mangkal, dekat ujung jalan. Aku sedang duduk sambil memeluk lutut dengan erat, terlihat dia muncul dari belokan gang itu lagi. Kupererat pelukan, mencoba membunuh angin malam. Biasanya dia hanya lewat, kali ini dia berjalan ke arah toko. Aku tergesa-gesa berdiri saat dia datang, badanku sedikit oleng. Otot-otot pipi dan bibirku ku tertarik menampilkan deretan gigi yang sudah tanggal. “kacang, nduk?” mata tuaku mengerjap-ngerjap menangkap bayangannya lewat sinar lampu minyak. “gulo kacang, pak, setunggal mawon.” Mungkin caraku menyambutnya sedikit berlebihan. Dia pelanggan pertama hari ini.

Di ujung jalan memang banyak yang berjualan, kalau di emper toko Cik Mei, ada yang jualan kacang, ujarnya. Dari kejauhan, belokan gang, dia sedang duduk memeluk lutut erat-erta. Membunuh angin malam. Mungkin angin juga yang menuntunnya ke arah toko Cik Mei. “dia bergegas berdiri, sampai oleng mau jatuh” dia menceritakan adegan saat penjual itu dihampiri. Penjual itu menanyainya apa dia akan membeli kacang. “gulo kacang, pak, setunggal mawon.” Katanya dia menjawab seperti itu. Mata penjual itu mengerja-ngerjap ditimpa cahaya orange. Menurutku terlalu berlebihan cara pennjual itu menyambutnya. Mungkin dia pelanggan pertama.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...