Thursday 31 May 2012

kamu (eksotis) cantik!


Aku menunggumu, diam
Melihatmu berdandan
Oles ini, sapu itu, tabur yang lain

Diam-diam aku memandang pantulan dirimu di cermin
Hm, coba kita lihat.
Rambut hitam berkilat
Panjang, jatuh di kulit bahu coklatmu
Ikal, hampir keriting.
-kau bersusah payah menyembunyikannya dengan catok dan smoothing berkali-kali.

Sebaris bulu lebat menyemut di atas mata bulat, coklat, lebih gelap
Dari kulitmu
Aku suka alismu yang tebal dan rapi seolah sering kaucukur
Hidungmu bangir,
Bibirmu melengkungkan senyum manis
Tak kuasa menutupi deretan gigi putih meruncing
Ah, nona!

Kau tahu,
Tak peduli tubuhmu kurus,
Atau sedang naik berat badan.
Juga tak peduli badanmu pendek,
Tak setinggi model di majalah.
Peduli apa kalau tubuhmu seperti tiang listrik.

Peduli setan, nona, jika kaubilang
Aku hitam :(

Bagiku, nona.
Kamu eksotis cantik!

Kau harus tahu, itu.

Wednesday 30 May 2012

Dari takbir hingga salam


*Takbir
Rukuk sujud
Lalu salam

Pagi siang sore
Sampai malam, Tuhan

Sehari lima kali
Lebih banyak dari
jadwal minum obat
Waktu kunjung pacar
Dan jadwal makan


*Takbir
Rukuk sujud
Lalu salam

Tak pernah putus
Satu waktu pun
--ya, kecuali kalau memang lagi liburan, Tuhan

*Takbir
Rukuk sujud
Lalu salam

Tuhan,
Apakah kau agung dikarenakan rukukku?
Apakah kau bertambah agung karena sujudku?

Apakah aku menjadikanmu hina bila sekali waktu saja
Aku tak datang menyembahmu?
Ataukah aku yang menjadi hina bila sekali waktu saja
Aku tak datang menyembahmu?

*Takbir
Rukuk sujud
Lalu salam

Tuhan, kemuliaanmulah yang menjadikanku tunduk padamu
Atau kerendahankulah yang memuliakanmu?

Takbirku
Rukukku
Sujudku, dan
Salamku

Tuhan,
Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan pahala yang kau janjikan
Sungai mengalir indah di bawah rindang pohon
Di negriku, tuhan, banyak
Bidadari cantik?
Ah, aku tidak suka sesama jenis

(kalau boleh jujur)
Aku takut
Mungkin aku hanya jatuh bangun
Menggugurkan kewajiban
Mungkin juga keterbiasaan
Dan yang paling mungkin, Tuhan
: Aku hanya takut nerakamu

--aku terbiasa hidup di dunia,
Sulit membayangkan api kebinasaan
Melahap tubuh sampai lebur
Kembali utuh, lebur lagi
Kembali utuh, lebur lagi
Kembali utuh, lebur lagi
Kembali utuh, lebur lagi
Kembali utuh, lebur lagi
Seperti yang turun temurun didongengkan leluhurku
Atau seperti cerita bergambar dalam buku cerita keagamaan
Yang dijajakan di bus, kereta, di jalanan

*Takbir
Rukuk sujud
Lalu salam

Apa pun niatnya,
Kumohon terimalah
--mungkin butuh waktu untuk memujamu tanpa pamrih dan takut

Malang, 27  Mei 2012
Bakda menunaikan salat isya

Thursday 10 May 2012

sintren; aku, kamu, dia dan budaya

Rabu malam, 14 Maret 2012, seusai berdiskusi ringan dengan teman-teman yang baru saja saya temui di kedai sinau, saya pulang membawa gelisah. Ada satu topik menarik yang disuguhkan salah seorang teman. Ia bercerita tentang novel bertemakan sintren. Sudah lama sebenarnya ia membaca novel tersebut, meski begitu kesannya masih membekas.

Sintren, salah satu budaya Indonesia yang penyebarannya luas ditemui di daerah pantura (pantai utara). Tokoh utama tarian ini seorang perempuan, gadis. Saat menarikan tarian, tubuh sang penari seolah menyatu dengan ruh lain, titisan penari yang menjadikannya begitu piawai menari. Kata teman saya ‘kerasukan’.

Seorang sintren disyaratkan masih gadis dan perawan, serta dalam keadaan tidak datang bulan. Sebelumnya juga melakukan laku ritual seperti puasa selama 40 hari atau minimal tiga hari, atau mati geni (puasa sehari semalam). Awalnya, si penari dibacakan mantra-mantra oleh pawang, kemudian dimasukkan dalam kurungan, setelah beberapa saat, sintren keluar dengan busana baru, siap menari. Kadang-kadang juga melakukan gerakan akrobatik.

Menyoal sintren, saya jadi ingat ronggeng. Seni tari dari daerah Banyumas. Pernah dinovelkan juga oleh Ahmad Tohari dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk. Di Jawa Timur dikenal juga tradisi tayub. Sebagian kita mungkin tidak mengenal budaya-budaya tersebut secara langsung, namun justru tahu dari karya-karya sastra yang ada, ya seperti dari novel-novel tadi.

Sebagai seni, bukan berarti sintren dan ronggeng bisa bertahan sampai sekarang tanpa aral melintang. Teman saya contohnya, dari novel yang dia baca tersebut, dia kemudian menarik kesimpulan, sintren itu memang budaya kita yang perlu dilestarikan. Tapi di sisi lain, bagaimana dengan nasib para ibu-ibu yang suaminya berhasil mendapatkan sang penari? Bukankah para penari itu mendatangkan petaka bagi kehidupan perempuan-perempuan yang sudah berumah tangga?

Belum lagi keadaan penari yang dibisiki mantra-mantra hingga kesurupan. Orang beragama bilang itu syirik. Haram. Tak heran jika ada berita mengenai istri gubernur jawa barat melarang seni sintren karena menganggapnya tidak sesuai syariat islam.

Saya pikir, tidak hanya sintren atau ronggeng saja, budaya Indonesia memang kental dengan apa yang disebut ‘magis’. Reog Ponorogo, kepang jaran, bambu gila, dan masih banyak lagi contoh lainyya. Budaya Indonesia merupakan perpaduan harmoni alam raya yang wujud ini, sublim, dengan alam raya yang tak bisa kita wujudkan, meski kita yakini ia wujud.

Manusia modern mencari identitas

Kini, kita tengah mengalami gempuran maha dahsyat budaya-budaya populer yang menyebar luas melalui media informasi seperti televisi atau pun internet, kita perlahan-lahan sadar bahwa budaya kita sudah semakin terlupakan. Budaya luar malah lebih dekat. Korea contohnya, salah satu negara yang berhasil menghegemoni Indonesia saat ini. Sejak drama televisi, musik, fashion, makanan, sampai gaya hidup. Benar-benar dilanda demam Korea.

Sikap orang terhadap budaya berbeda-beda.  Ada yang merasa nyaman dengan hegemoni budaya luar, ada juga yang menaruh simpati pada kebudayaan negeri kita. Muncullah pertanyaan-pertanyan pada diri sendiri atas nasib bangsa ini. Ini kah kita? Indonesia dengan baju korea? Indonesia dengan baju barat? Dimana baju kita sendiri? Bagaimana dengan seni asli Indonesia? Bukankah kita kaya akan budaya yang menghampar dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai Talaud(?).

Aduh, apa perlu ditampar untuk sadar? Seperti tahun-tahun kemaren,negara tetangga mengklaim lagu daerah kita, rasa sayange.

Takut kecolongan, negara reaktif ini buru-buru menginventarisasi semua budaya-seni-tradisi. Batik buru-buru dipatenkan sebelum dicaplok lagi. Hari Sabtu dijadikan batik nasional. Tiap-tiap daerah menghidupkan kembali seni khasnya. Seni lokalitas digelar dalam bentuk festival-festival atau ajang pariwisata. Menarik sekali, karena bisa menyemarakkan pariwisata yang ujung-ujungnya mendatangkan manfaat ekonomi. Sementara dibelakang diam-diam kembali abai. 
 
Seperti orang yang sedang krisis identitas, kita mencari-cari mukjizat penyelamat. Kita lalu menelusur ke belakang, kembali pada tradisi kebudayaan yang dibangun oleh nenek moyang. Dan di sinilah kita, berkoar-koar untuk melestarikan seni asli Indonesia. Untuk menunjukkan bahwa kita juga berkarakter. Jadi siapa sebenarnya yang perlu simpati?
Seperti orang yang sedang krisis identitas, kita mencari-cari mukjizat penyelamat. Kita lalu menelusur ke belakang, kembali pada tradisi kebudayaan yang dibangun oleh nenek moyang. Dan di sinilah kita, berkoar-koar untuk melestarikan seni asli Indonesia. Untuk menunjukkan bahwa kita juga berkarakter. Jadi siapa sebenarnya yang perlu simpati?

Generasi orang-orang yang lahir setelah pengaruh agama dan ilmu pengetahuan mendera Indonesia melihat sintren, ronggeng, reog, bantengan menggunakan kacamata berbeda. Tak heran bila kita menggunakan kata ‘kesurupan’ untuk merujuk kondisi penari saat tubuhnya menyatu dengan roh-roh leluhur.

Kita melihatnya hanya sekadar seni. Seni, bagi kita hanya atribut keindahan, mengandung nilai estetika, serta menghibur. Sudah. Sintren, ronggeng, reog, sama saja dengan sinetron dan lagu yang diputar tiap hari di ayar kaca.
Agama malah membuat kita menimbang-nimbang ulang seni budaya kita. Semisal sintren tadi; haram apa halal? sirik apa tidak? Bid’ah apa tidak? Porno apa tidak? Sesuai syariat apa tidak? Yang ada malah jadinya melarang perkembangan seni leluhur kita. 

Kita lupa ruhnya . Kita lupa filosofisnya. Kita amnesia bahwa, tradisi itu tidak serta merta hadir. Ia merupakan bentuk perwujudan luhur dari nilai-nilai filosofi kehidupan nenek moyang kita dahulu. Semacam keyakinan, nasehat-nasehat, hikmah yang disampaikan dalam bahasa seni.

Sintren contohnya, konon, menurut cerita yang berkembang di cirebon, sintren berawal dari legenda kisah cinta Dewi Rantamsari atau Dewi Sulasih dengan Bahurekso. Cinta mereka tidak direstui, Bahurekso diperintahkan untuk bertapa, sementara Sulasih di suruh menari dari desa ke desa dalam acara bersih desa sebagai syarat untuk bertemu dengan Bahurekso. Setiap malam bulan purnama, Sulasih akan menari di acara resik desa, Bahurekso dengan diam-diam akan turun dari pertapaannya ke pagelaran acara. Ia akan melemparkan sapu tangan pemberian ibunya ke Sulasih, saat terkena sapu tangan, dia akan pingsan tak sadarkan diri dan roh halus masuk ke dalamnya. Dengan ilmu yang dimiliki Bahurekso, Sulasih berhasil dibawa lari . Mereka kemudian hidup berdua selamanya.

Monday 7 May 2012

cerita buba

hasil belajar Buba


Melihat si kakak, Nisa, sibuk mengetik cerita Buba juga tidak mau kalah. gambar di atas adalah cerita yang berhasil ditulis Buba. "Ma Novi, lihat sini," ia memintaku memeriksa ceritanya. "Wah pintar! Ini apa ceritanya sayang?" Sumpah, aku gak mudeng baca tulisannya. And see what she said?

"Waktu aku ke Bali aku liat pantai. Serrru banget."
  

Wednesday 2 May 2012

menunggu senyum di persimpangan

Senyummu manis
meski malumalu.
Menyambutku pagi hari ini.

Trims,
Hari ini aku lebih bergairah bekerja.

Senyumlah untukku
Lagi,
Waktu berjumpa
Tepat saat ayam berkokok- suhu udara berganti
Di persimpangan mimpi, aku menunggumu.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...